Selasa, 02 Desember 2014

Pegunungan Ijen antara Kekayaan, Sosial Masyarakat Desa, dan Fakta yang Menyedihkan

Tepat 1 minggu lalu, saya beserta beberapa teman pergi ke sebuah kawasan wisata yang mulai terkenal karena api birunya yang tak kunjung padam. Sebuah pesona wisata gunung ijen yang sudah mulai tersohor di mancanegara. Tepat jam 11 malam kami tiba di sana sambil bingung mecari tahu arah menuju puncak karena itulah kali pertama kami menuju tempat itu. Setelah beberapa saat kami bertemu dengan tiga penambang belerang yang merupakan penduduk lokal daerah ijen yang memang pekerjaan utama mereka adalah penambang belerang. Setelah ngobrol, akhirnya mereka bersedia mengantar kami ke puncak dan bahkan sampai ke area api birunya. 

Setelah bergegas akhirnya sekitar 11.30 kita mulai menaiki menuju puncak salah satu gunung dengan kawah terbaik di dunia tersebut. Di perjalanan kami lebih banyak ngobrol dan bergurai baik dengan teman ataupun dengan bapak penambangnya. Kami banyak bertanya banyak hal terutama tentang keadaan di ijen dan kebiasaan mereka dan tentunya tentang belerang itu sendiri. Dari percakapan kami, ada beberapa hal yang mungkin bisa saya ceritakan di dalam blog ini untuk melihat salah satu kehidupan masyarakat Indonesia yang minim fasilitas yang bagus. 

Hal pertama yang saya lihat pada saat datang ke ijen adalah handphone, yang dimana secara mengejutkan tidak ada sinyal sedikitpun dari provider terbaik Indonesia yang di mana sinyalnya paling kuat. Ya tidak ada sinyal, sehingga saya putuskan tinggalkan handphone di mobil. Hal kedua adalah dengan mempersiapkan perbekalan seperti makanan dan minuman, karena hampir muatahil mendapatkan makanan dan minuman di sana di malam hari. Satu-satunya kantin yang bukapun hanya beroperasi di pagi hari, itupun hanya menu cepat saji yang tidak mengenyangkan. 

Persiapan selesai, kita gambarkan bagaimana kondisi masyarakat di sana. Mayoritas penduduk di sana adalah penambang belerang, itu bukan berarti tidak ada pekerjaan lain, tetapi karena itulah pekerjaan dengan hasil paling tinggi bagi mereka. Di sepanjang perjalanan saya masih bisa melihat ada yang budi daya madu, toko kelontongan, guest house, dan warung. Itu membuktikan bahwa perkataan bapak yang bersama kami benar adanya. Dalam prinsip bisnis menganut resiko besar, keuntungan besar tampaknya berlaku bagi para penambang di sana yang berjumlah sekitar 300 orang. Setiap hari mereka memanggul belerang satu sampai dua panggul belerang yang berisi 50-100kg setiap panggulnya menurut kesanggupan fisik mereka hari itu. Dengan pendapatan terbesar di sana, resiko yang dialami penambang adalah kerusakan paru-paru akibat menghirup asap belerang setiap hari. Resiko yang besar bukan? 

Secara matematis menurut saya keuntungan yang di dapat dan resikonya tidak sebanding bila dibandingkan dengan para penampung belerangnya tentunya. Saya kurang paham bagaimana seluk beluk tentang bisnis belerang, tapi saya rasa apa yang masyarakat sana rasakan tidak adil. Dari informasi yang saya dapat dari mereka, harga belerang yang mereka tambang hanya sebesar Rp. 900 per kgnya. Anggap saja mereka setiap hari mampu membawa dua panggul dengan berat masing-masing 70kg, maka setiap hari mereka bisa membawa uang Rp. 126.000. Berarti dalam satu bulan pendapatan mereka berkisar Rp. 3.780.000 bila dihitung dalam 30 hari kerja. Apakah uang segitu sebanding dengan pengorbanan mereka yang rela paru-parunya makin lama makin rusak? Satu yang saya lupa tanyakan adalah bagaimana nasib mereka yang paru-parunya sudah rusak, masih tetap menambang demi sesuap nasi atau beralih ke pekerjaan lain, atau mendapatkan asuransi kesehatan? 

Dan ditengah banyaknya pertanyaan, terselip pertanyaan saya tentang kenaikan harga minyak ke mereka, dan jawaban mereka membuat saya terkejut. Mereka tidak ambil pusing mau naik atau turun, bagi mereka bekerja dan bekerja itu jauh lebih penting. Bagi mereka satu hari tidak menambang, berarti satu hari pula mereka tidak mendapatkan uang dan mungkin bisa saja bingung memberi istri dan anak makan. Suatu kehidupan masyarakat desa yang luar biasa. Suatu desa dengan sumber kekayaan hebat yang harusnya bisa mensejahterakan masyarakat di sini dengan tidak menggantungkan pada hasil tambang belerang. 

Sepanjang perjalanan dari titik start ke lokasi api biru dan kembali ke start lagi, ada ratusan wisatawan datang silih berganti baik dari Indonesia dan luar Indonesia. Ingat bahwa ijen menjadi salah satu tujuan wisata yang lagi menarik bagi wisatawan seluruh dunia karena apa yang terdapat di sana. Harusnya alternatif pariwisata bisa menjadi sumber penghasilan lain bagi penduduk di sana. Peningkatan infrastruktur dan fasilitas yang baik, tentunya akan diikuti minat investor untuk mengembangkan daerah itu dan menambah jumlah lapangan pekerjaan baru. Karena saya lihat satu-satunya penginapan di area aman hanya milik pemerintah yang masih menunggu peresmian dari menteri kehutanan. Memang ijen merupakan cagar alam yang harus dilindungi, tentunya pemerintah lewat menteri kehutanan bisa mengukur berapa banyak investor yang boleh masuk dan mau mengembangkan apa. Karena bagi orang pecinta travelling macam saya hanya menikmati apa yang Tuhan sudah sediakan bagi Bangsa ini untuk dikembangkan. 

Mau tidak mau, pemerintah harusnya mulai memaksimalkan ke arah pariwisata. Ingat, bahwa tanpa disadari, ijen sudah masuk dalam salah dari sepuluh kawah terbaik di dunia. Yang pasti tentunya akan membawa daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Belum lagi area api biru alamnya yang juga layak untuk diperhitungkan, dan tentunya matahari terbit adalah hal yang sangat bagus dinikmati di ketinggian lebih dari 3.000 dpl tersebut. 

KESERIUSAN PEMERINTAH DALAM MEMAKSIMALKAN POTENSI WISATA DI IJEN AKAN MEMBUAT ALTERNATIF PEKERJAAN YANG LEBIH MANUSIAWI BAGI PENDUDUK DI SINI DAN JUGA MENJAUHKAN DARI RESIKO BESAR KERUSAKAN PARU-PARU. MAU TIDAK MAU, PERCAYA TIDAK PERCAYA, SUKA TIDAK SUKA, IJEN SUDAH MENJELMA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DUNIA, BUKAN HANYA SEKEDAR LOKAL BANYUWANGI ATAUPUN INDONESIA. 



Salam damai dan God bless Indonesia
Laskar Banyuwangi

Tidak ada komentar: